Siapa Sebenarnya Bangsa Besar?

12.19.00


“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”, kata Bung Karno pada Hari Pahlawan, 10 November 1961. Setiap tahun kita diajak untuk mengenang jasa para pahlawan, baik yang nama-nama dan foto-fotonya kita kenal, maupun para pahlawan yang tak dikenal. Sekolah-sekolah mengadakan upacara bendera.  Di kampung-kampung, para pemuda membaca sajak “Krawang-Bekasi” dari Chairil Anwar. Dapat pula kita membaca novel “Di Tepi Kali Bekasi” dari Pramoedya Ananta Toer.



Menghormati jasa pahlawan tentu bukan hanya “mengenang masa lalu” selama sehari dalam setahun. Kita harus berterima kasih pada para pahlawan, yang memungkinkan kita setiap hari menghirup suasana yang merdeka, dapat belajar dan bekerja dalam suasana kebebasan.  Salah satu manfaat dari ditetapkannya figur-figur pahlawan dan penghormatan atas mereka pada hari pahlawan ialah agar generasi-generasi berikut dapat memiliki contoh keteladanan dalam hidup bersama.

Namun, bukankah zamannya sama sekali berbeda? Bukankah sekarang ini,  kita tidak lagi dijajah dan tidak dalam keadaan perang? Jadi, apa artinya meneladani para pahlawan? Sebagai bangsa merdeka yang hidup dalam suasana perdamaian, kita tetap dapat meneladani para pahlawan.  Untuk itu, kita melihat seorang pahlawan sebagai figur yang berhasil mengembangkan civic virtues (kebajikan seorang warga) dalam dirinya, sehingga rela mengorbankan kepentingan-diri bahkan hidupnya, dalam mengupayakan, mempertahankan atau membela kemerdekaan bangsanya. Maka dalam suasana kemerdekaan dan perdamaian seperti sekarang, kata kunci yang perlu digarisbawahi ialah civic virtue.

Pertama-tama, kebajikan yang perlu ditumbuhkan dan dijadikan kebiasaan dalam kehidupan berbangsa ialah kemampuan memperlakukan warga-warga lain dalam masyarakat secara setara. Ini lebih-lebih perlu, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari bermacam-macam ras, suku, beraneka agama dan kepercayaan,  dengan pandangan tentang perilaku baik yang tidak sepenuhnya sama.  

Dalam diri setiap orang perlu ditumbuhkan solidaritas kebangsaan. Suku-suku dan komunitas-komunitas yang hidup dari Sabang sampai Merauke, dengan pelbagai latar belakang agama, kepercayaan dan kebudayaan masing-masing, harus kita pandang sebagai saudara-saudara sebangsa dan setanah air.  Kita harus mengembangkan kebiasaan untuk saling menghormati dan saling memperlakukan sebagai saudara, sebagai pihak-pihak yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Tawuran pelajar dan tawuran antar warga tak boleh terjadi lagi.

Kedua, kita perlu membiasakan diri untuk menjalankan civic obligation (kewajiban warga) sebaik-baiknya.Kita tidak boleh membiasakan diri absen atau mewakilkan pada pembantu atau orang upahan pada rapat Rukun Tetangga, kerja bakti lingkungan atau giliran ronda Siskamling. Kita perlu berpartisipasi dan ikut mengawasi bagaimana politik dan penyelenggaraan urusan publik dijalankan di tingkat negara sampai lingkungan tempat tinggal. Tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh nurani, kita wajib memberikan suara dalam pelbagai Pemilu di negara Republik Indonesia yang semakin demokratis ini. Kita perlu membiasakan diri untuk memilih berdasarkan alasan bahwa figur yang kita pilih akan berbuat maksimal bagi kepentingan umum, bukan berdasar politik uang.

Ketiga,  kita juga perlu membiasakan diri untuk menaati hukum, yang dibuat, dijalankan dan diawasi oleh figur-figur yang dipilih dengan kriteria komitmen pada kepentingan umum itu.  Kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tampaknya sepele, semisal  naik kereta api tanpa bayar, melanggar aturan lalu lintas seenaknya, termasuk mengemudikan kendaraan tanpa SIM. Apa pun posisi kita, kita perlu meninggalkan kebiasaan yang tercermin dalam ungkapan “semua bisa diatur”.

Negara, para pejabat negara dan para politisi mempunyai tanggung jawab besar untuk mewujudkan jiwa kepahlawanan di masa damai.  Mereka sendiri harus memperlihatkan perilaku yang dapat diteladani, bukan malah ramai-ramai bertindak korup, saling menyalahkan atau mengelak dari tanggung jawab. Banyak kebiasaan buruk harus ditanggalkan oleh polisi dan aparat pemerintah yang langsung berhubungan dengan rakyat. Untuk itu mereka harus diberi teladan oleh atasan langsung. Begitu seterusnya, hingga pejabat tingkat pusat, seperti anggota DPR, Presiden dan para menteri, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, harus bertanggung jawab tidak hanya atas perilaku mereka sendiri tetapi juga perilaku anak buah mereka.

Dalam  lagu kebangsaan kita, terdapat kalimat  yang berbunyi “Di sanalah aku berdiri, jadi pandu Ibuku”. Pandu artinya penyuluh, penggerak, motivator, penuntun, penunjuk arah. Lagu kebangsaan ciptaan Wage Rudolf Soepratman ini dikumandangkan pertama kali di Kongres Pemuda II di Jakarta 1928. Para pesertanya adalah mereka yang oleh Robert van Niel disebut sebagai “elite Indonesia yang baru muncul”. Elite Indonesia yang baru muncul itu punya komitmen untuk menjadi pandu Indonesia.

Maka dalam Indonesia yang sudah merdeka, semakin demokratis dan semakin terpelajar ini, kita semua adalah pandu Indonesia. Kita semua wajib menumbuhkembangkan kebajikan warga di lingkungan kita masing-masing.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »