Sadar atau tidak, apapun profesinya, kita perlu gairah dalam 
menjalaninya. Karena tanpa gairah, hidup ini tidak akan terasa indah. 
Bayangkan, bangun tidur saja muka sudah lecek; Melihat jam sudah malas, 
“Ah, masih jam segini,” lalu akhirnya tidur lagi; Kalau tidak tidur 
lagi, paling mandi, itu juga kalau tidak malas; Lalu berangkat kerja; 
Nunggu angkutan umum mengeluh karena lama; Masuk kendaraan mengeluh 
karena tempat kotor; Dan keluhan-keluhan lainnya.
Sadar atau tidak, sesungguhnya semakin banyak kita mengeluh maka kita
 akan semakin terpuruk dan tersugesti menjadi lebih buruk. Akhirnya kita
 menjalani waktu kita dengan muram dan suram. Padahal untuk membuat 
hidup lebih bahagia, yang kita perlukan adalah mensyukuri hidup ini. 
Kalau kata D’Masiv, “Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah.” Ya! 
Kalau kita tahu hidup ini sudah susah, maka jangan kita buat susah! 
Nikmati saja hidup ini! Jadikan hidup ini nikmat! Masalahnya, tidak 
semua orang tahu bagaimana cara menikmati hidup ini yang benar. Alhasil,
 mereka menyalurkan rasa nikmat itu dengan cara yang salah dan 
menyimpang, seperti sex bebas, merokok, narkoba, hura-hura, marah-marah,
 dan lain sebagainya.
Apakah semua itu nikmat? Memang nikmat, tapi sesaat! Tahukah? Bahwa 
segala nikmat yang sesaat itu kebanyakan adalah sesat! Dan itu merupakan
 kekeliruan. Karena sesuatu yang mereka anggap nikmat itu tidak bertahan
 lama dan mengharuskan mereka untuk mencari atau melakukannya lagi dan 
lagi. Mereka membangun penjara hidup yang dapat menghancurkan diri 
mereka sendiri. Apakah kita mau nikmat itu hanya sesaat? Tentu saja 
tidak.
Semua Berawal Dari Cinta
Lantas bagaimana agar kita dapat membuat hidup kita bergairah dan 
menjadikan segala aktivitas kita penuh kenikmatan? Jawabannya satu: 
cinta. Secara ilmiah, ketika seseorang sedang jatuh cinta, otak akan 
menghasilkan zat dopamin yang membuat orang tersebut merasa nikmat 
manakala sedang dekat dengan yang dirinya cintai. Maka dari itu, kalau 
orang sedang jatuh cinta, apapun rasanya nikmat. Diomelin sama yang 
dicinta, katanya omelan cinta. Ditonjok sama yang dicinta, dibilangnya 
tonjokan cinta. Bahkan kalau mati pun, inginnya di tangan yang dicinta. 
Benarlah semua terasa nikmat. Kalau kata orang dulu, (maaf) kotoran 
kucing pun rasanya nikmat, seperti coklat!
Zat inilah yang membuat kita terus merasa nikmat dan ingin terus 
mendapatkan kenikmatan itu. Kemudian perasaan ini akan melahirkan sifat 
adiktif yang membuat kita merasa kecanduan, sama seperti orang yang 
sedang kecanduan narkoba. Maka dari itu, ketika kita ingin membuat hidup
 ini bergairah penuh kenikmatan, jalani hidup ini dengan cinta. Lakukan 
yang kita cintai atau cintai yang kita lakukan!
Karena cinta juga membuat otak menciptakan zat oksitosin yang 
menjadikan diri kita selalu ingin berdekatan dengan yang kita cintai. 
Inilah mengapa cinta itu selain berisi kasih sayang, juga memiliki 
komitmen. Orang yang tidak betah dan kurang menghargai pekerjaannya 
adalah disebabkan dari tidak adanya cinta pada pekerjaannya. Maka ketika
 kita ingin menjadikan pekerjaan kita terasa nikmat, cintailah pekerjaan
 kita. Cintalah yang akan membuat kita memiliki kekuatan lebih untuk 
berjuang selama ini, sehingga kita bisa menciptakan kreasi dan prestasi 
lebih banyak lagi!
Ketahuilah, cinta itu adalah energi. Maka kebermanfaatan energi ini 
akan bergantung pada cara pengolahannya. Ibarat nuklir, jika diolah 
dengan baik bisa jadi pembangkit tenaga listrik. Tapi kalau salah kelola
 bisa jadi bom atom yang menghancurkan seperti yang pernah terjadi di 
Hiroshima dan Nagasaki. Begitu pula cinta. Kalau benar kelola, bisa jadi 
energi yang tak habis-habis memberi gairah kenikmatan. Tapi kalau salah 
kelola, bisa jadi menyesatkan.
Namun sekali lagi, masih ada yang salah kaprah dalam mencari nikmat 
cinta. Tandanya adalah cinta tersebut hanya sebentar rasa nikmatnya dan 
membuat sengsara. Ujung-ujungnya, cinta mereka adalah nikmat sesaat, dan
 itu sesat! Ketahuilah, cinta itu ibarat energi, maka energi itu bisa 
digunakan sebagai PITC, Pembangkit Iman Tenaga Cinta.
Karena cinta adalah energi, maka agar tidak terasa sesaat, kita perlu
 mengisinya dengan sumber bahan bakar yang tidak pernah habis, 
berkurang, atau hilang. Dari mana itu? Tentu saja dari Tuhan YME. 
Jadikan Tuhan menjadi alasan cinta terkuat kita, sehingga bukan 
karena gaji atau apresiasi yang kita cari, melainkan ridho dan 
rahmat-Nya yang kita tuju. Biarkan gaji dan apresiasi menjadi 
bunga-bunga perjalanan yang datang dengan sendirinya ketika Tuhan 
sudah ridho dengan kita. Namun ketika gaji dan apresiasi yang kita cari,
 mungkin kita dapatkan itu semua. Tapi soal keberkahan? Belum tentu.
Perjelas Tujuan Kita!
Cinta sebagai komoditas utama energi kehidupan memerlukan perawatan 
agar tetap bergairah. Maka faktor utama yang membuat kita dapat terus 
menggairahkan cinta ini adalah kejelasan tujuan. Hidup yang bergairah 
adalah hidup yang memiliki tujuan. Sebagaimana makan jeruk, mungkin kita
 merasa enak saja memakannya karena rasanya yang enak. Tapi kalau kita 
tahu jeruk itu juga mengandung banyak manfaat dan kaya akan vitamin C, 
mungkin kita memakannya tidak hanya enak, tapi juga semangat.
Setiap orang yang sadar hidupnya untuk ibadah, akan terhindar dari 
stagnasi kehidupan. Kenapa? Karena stagnasi muncul dari kebosanan. 
Sentara kebosanan lahir dari perbuatan yang monoton. Orang yang hidup 
untuk ibadah tidak akan menjadikan hidupnya monoton. Karena dirinya 
selalu berusaha menjadikannya hidupnya hari ini lebih baik dari hari 
kemarin, dan hari besok lebih baik dari hari ini. Tidak ada yang 
monoton. Waktunya terus terisi dengan kebaikan. Kebaikan-kebaikan itulah
 yang menjadikannya ia sibuk terhindar dari pekerjaan yang itu-itu saja.
 Kebaikan-kebaikan itulah yang menjadikannya hidup lebih hidup!
Jangan biarkan hidup ini mengalir seperti air. Karena air itu 
mengalir dari atas ke bawah. Apakah kita ingin hidup kita menurun ke 
bawah tanpa adanya perbaikan? Selain itu, aliran air itu tidak dapat 
dikendalikan. Lantas apa kita juga biarkan hidup kita tidak terkendali? 
Maka buatlah hidup kita seperti layang-layang, yang senantiasa meninggi 
dan dapat kita kendalikan.
Lihatlah orang-orang sukses. Kesuksesan mereka tentu berawal dari 
sebuah mimpi yang besar. Cinta tanpa disertai mimpi yang besar, akan 
cepat goyah. Pernikahan yang hanya didasari untuk menyalurkan kebutuhan 
biologis semata akan terasa kurang bergairah dibandingkan pernikahan 
yang memiliki mimpi untuk membangun keluarga yang sakinah, punya 
keturunan yang berkah, menjadi sebuah jalan ibadah meraih ridho-Nya, dan
 lain sebagainya. Untuk itu, di setiap pekerjaan kita hendaknya kita 
memiliki ekspektasi yang besar terhadap hasil yang nantinya akan kita 
peroleh. Tentu ekspektasi tersebut harus dibangun di atas optimisme yang
 tinggi. Karena mimpi tanpa optimisme sama saja bohong.
Optimisme dapat membawa kita kepada sebuah kondisi yang lebih baik. 
Optimisme juga mampu menjadikan kehidupan kita berubah semakin bahagia. 
Mengapa? Karena kehidupan yang baik itu kitalah yang menentukan. Di 
sinilah kita perlu membedakan antara nasib dan takdir. Nasib tidak dapat
 diubah, seperti kita lahir di keluarga mana, punya fisik seperti apa, 
dan lain sebagainya. Tapi soal takdir, itu bisa diubah. Jadi masalah 
cerdas, kaya, ataupun sukses bukanlah nasib yang Allah turunkan pada 
kita, melainkan sebuah takdir baik yang perlu kita jemput.
Mungkin pada mulanya kita sering berpikir, “Kita yang berencana, 
Allah yang menentukan.” Tidakkah kita ingat bahwa Allah berfirman, 
“Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum, sebelum kaum itu 
merubahnya sendiri.” [QS. Ar-Ra’du: 11] Maka sekali lagi, kita perlu 
mengubah kondisi kita menjadi lebih baik. Atau lebih tepatnya menjemput 
takdir-takdir baik kita di masa depan. Allah sudah berikan rancangan 
kehidupan sedemikian rupa, barangsiapa yang rajin sedekah akan diberikan
 kelancaran rezeki, siapa yang bekerja keras dia akan menuai keuntungan,
 siapa yang menolong orang lain akan ditolong oleh-Nya, dan lain 
sebagainya. Masalahnya adalah, sudahkah kita memilih untuk itu? Sudahkah
 kita menjemput takdir baik itu? Lantas, bagaimana kalau kita balik, 
“Allah yang merencanankan, kitalah yang menentukan!”
Yakinlah, setiap pilihan itu membawa kita kepada sebuah takdir di 
kemudian hari. Hidup ini berlalu sangat singkat dan berisi dengan banyak
 pilihan. Maka sangat merugilah kita manakala membiarkan hidup yang 
sangat singkat ini dengan pilihan-pilihan yang salah, seperti memilih 
untuk malas, pesimis, kurang produktif dalam bekerja, hingga mengisi 
pikiran dengan hal-hal yang buruk.
Semua Itu Ada Harganya
Kalau kata Mario Teguh, “Tak ada yang dapat menjamin hidup ini 
berlalu dengan mudah. Untuk itu kita perlu menjadi pribadi yang lebih 
kuat dari sebelumnya.” Begitu pula dalam upaya kita mewujudkan segala 
impian kita. Pasti ada ‘harga’ yang kita bayar untuk itu. Ada saja ujian
 yang merintanginya. Karena boleh jadi Allah tengah melihat seberapa 
pantas diri kita menerima takdir baik itu. Karena ketika diri kita belum
 mendapatkan apa yang kita inginkan, boleh jadi bukan disebabkan kita 
tidak ditakdirkan untuk itu, akan tetapi kita belum siap untuk 
menerimanya.
Sering kali kita mengeluh ketika diuji. Padahal sesungguhnya segala 
ujian itulah yang menjadikan hidup kita lebih bergairah! Coba saja 
bayangkan jika hidup ini tanpa ada ujian. Sukses-sukses saja, 
lancar-lancar saja, mudah-mudah saja. Nikmat tidak? Justru kita seperti 
pisau yang tidak pernah digunakan. Tidak tumpul tapi hancur karena 
karatan. Pisau yang digunakan dan tumpul itu jauh lebih baik daripada 
hancur karena karatan. Minimal dirinya memiliki banyak ‘pengalaman’ yang
 menjadikan dirinya lebih tajam daripada sebelumnya.
Maka mari kita ubah paradigma kita ketika sedang diuji, adanya ujian 
sebetulnya adalah kesempatan kita untuk mengasah ketajaman diri kita! 
Seperti emas yang indah, sebelumnya ia dibakar guna memisahkan 
kotoran-kotoran yang melekat padanya. Untuk itu jangan buat hidup ini 
datar dengan begitu-begitu saja. Tetapi buatlah dinamika yang semakin 
membawa kita kepada perkembangan yang lebih baik, progresif! Karena 
sesungguhnya seluruh ujian itu tidak lebih besar dari kemampuan kita. 
Bukankah Allah telah janjikan itu di ayat terakhir surat Al-Baqarah? 
Maka buat apa kita bersedih terhadap ujian? Berbahagialah karena kita 
masih diperhatikannya dengan masih diberikan ujian. Artinya kita masih 
diperhatikan oleh-Nya.
Apa bukti segala ujian itu tidak di luar kemampuan kita? Ambillah 
contoh lari maraton satu kilometer. Mungkin ketika pelatih kita 
mengetes, kita bisa menghabiskan waktu cukup banyak. Apalagi kalau kita 
jarang latihan, pasti jadi lebih lama. Tapi coba kasusnya sedang dikejar
 anjing. Dapat dipastikan kita dapat lari lebih cepat dari apa yang kita
 bayangkan. Seketika akan muncul kekuatan-kekuatan misterius yang 
membuat daya dorong kita jauh lebih lesat. Kekuatan itu disebut endurance, atau the power of kepepet.
 Karena ketika kita kepepet, terhimpit atau terdesak, kita akan takjub 
dengan kemampuan yang kita miliki. Hanya saja selama ini kemampuan itu 
lama ‘tertidur’ dan tidak terasah.
Kita Tidak Hidup Sendiri
“Saya tidak tersenyum karena saya tidak bergairah. Saya tidak 
bergairah karena saya tidak bahagia. Saya tidak bahagia karena saya 
tidak kaya…” Selalu ada sebab akibat. Tapi kalau kita masih punya 
pikiran seperti ini, sepertinya memang ada masalah dengan cara pandang 
kita dalam menyikapi kehidupan.
Mari sekarang kita balik pernyataan tersebut dengan sekaligus 
menanyakannya. Bagaimana saya akan kaya kalau saya tidak bahagia? 
Bagaimana saya akan bahagia kalau saya tidak bergairah? Bagaimana saya 
akan bergairah kalau saya tidak tersenyum? Kesuksesan itu bukan 
ditunggu, tapi dijemput. Maka jemputlah! Ubah pikiran buruk kita dan 
jadikan lebih positif-konstruktif. Karena banyak penghambat yang 
sebetulnya berasal dari pikiran kita sendiri, hingga kemudian kita 
merasa takut gagal, tidak mau mencoba, dan merasa tidak bisa apa-apa.
Begitu pula pola pikir “Saya tidak menolong orang karena saya tidak 
berdaya.” Bagaimana saya akan berdaya kalau tidak pernah menolong orang?
 Tahukah, bahwa sesungguhnya satu hal lagi yang membuat hidup kita lebih
 bergairah adalah dengan mengasah kepedulian kita terhadap sesama. 
Sayyid Quthb, seorang tokoh pergerakan Islam menyatakan, “Ketika kita 
hidup untuk kepentingan pribadi, hidup ini tampak sangat pendek dan 
kerdil. Ia bermula saat kita mengerti dan berakhir bersama berakhirnya 
usia kita yang terbatas. Tapi, apabila kita hidup untuk orang lain, 
yakni hidup untuk (memperjuangkan) sebuah fikrah, maka kehidupan ini 
terasa panjang dan memiliki makna yang dalam. Ia bermula bersama mulanya
 kehidupan manusia dan membentang beberapa masa setelah kita berpisah 
dengan permukaan bumi.”
Lihatlah orang-orang sukses yang kita kenal. Kebanyakan dari mereka 
mengawali kesuksesan mereka bukan dengan impian ingin terkenal atau 
menjadi orang kaya, tetapi bagaimana membuat orang lain terbantu atau 
menjadi senang karena usaha mereka. Inilah yang membuat mereka semangat 
dan bergairah dalam pekerjaan mereka. Karena mereka bekerja bukan untuk 
diri mereka sendiri, melainkan karena orang banyak. Mereka ingin melihat
 senyum bahagia dari orang-orang itu! Mereka senang jika orang-orang itu
 senang.
Kita perlu menyadari bahwa kita akan sulit bahagia kalau orang lain 
tidak bahagia. Apa asiknya hidup punya segalanya tapi tidak punya 
manfaat apa-apa? Cepat atau lambat dirinya akan segera dilupakan, 
terhapus namanya dari peradaban sejarah manusia. Siklus kehidupan 
mengajarkan kita kalau manusia hidup begitu-begitu saja: lahir, tumbuh, 
jadi anak-anak, remaja, dewasa, bekerja, menikah, punya anak, menua, 
punya cucu, meninggal, dikubur, dan hanya menyisakan tiga tulisan yang 
terdiri dari nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat. Apa hanya itu yang 
kita inginkan? Tidak! Buatlah sebanyak mungkin kebaikan untuk menjadikan
 hidup kita lebih bermakna.
Sadarilah, hidup ini terlalu mahal untuk kita siakan. Cukup sudah 
kita larut dalam kelesuan hidup selama ini. Bergairahlah! Jemput takdir 
baik kita!
*Disampaikan pada ulang tahun “Winning Indonesia” ke-3, sekaligus
 soft launching “Young Socialpreneur Academy” pada Sabtu, 14 April 2012,
 di ruang teater FAH.
 
 
 





EmoticonEmoticon